Arti dari kelulusan

Namanya Hana, rambutnya panjang sebahu, kulitnya cerah dan wajahnya manis, dengan lesung pipit di kedua pipinya sebagai madu di senyumnya. Tapi bukan penampilan fisik menawan itu yang menjadi daya tariknya. Sifatnya yang ramah pada setiap orang, murah senyum dan suka bercandalah yang membuatnya disukai sejuta lelaki.

 

Pacaran? Satu saja belum punya. Semua konsentrasinya hanya untuk belajar, belajar dan belajar. Sebuah dedikasi yang langka dari seorang siswi yang menjadi kembang sekolah. Kembang sekolah? Ya, banyak siswa menawarkan cintanya, tak seorangpun dia terima. "Maaf, aku cuman pingin fokus sama belajarku" sebuah kalimat yang mematahkan hati para pengejar cinta.

 

Bermain? Tentu saja. Dia masih wanita yang normal. Ngobrol dengan teman-temannya sampai berjam-jam. Curhat tentang cowok yang dia sukai. Ya, dia masih menyukai cowok, dan cowok itu pun pernah menawarkan cintanya, tapi Hana menolaknya. "Ntar kalau jodoh dia akan kembali lagi kok, sekarang bukan waktunya" kilahnya saat teman-temannya melihatnya dengan penuh tanda tanya saat dia menceritakan kejadian itu.

 

Tapi sekarang Hana sudah kelas tiga. Sebuah titik puncak dari perjalanan seorang siswa. Hari-harinya dihabiskan di sekolah, bimbingan belajar dan belajar di rumah. UNAS yang tinggal sebulan lagi memberi tenaga ekstra bagi dirinya untuk terus membelalakan mata memandangi soal-soal yang entah sudah berapa ratus ribu yang dia kerjakan. Semua untuk impiannya.

 

Impian? Ya, dia ingin kuliah di Fakultas Kedokteran. Karena gajinya besar? Tunggu dulu. Dia bermimpi untuk menjadi dokter sukarelawan. Bertugas di pedalaman Indonesia yang bahkan tidak ada di peta, membantu korban bencana, mengajar di universitas yang tak ternama di ujung Indonesia, itulah impiannya.

 

Tapi keluarganya bukanlah keluarga kaya. Tidak miskin juga. Hanya sebuah Kijang tahun 94 yang terparkir manis di rumahnya yang berukuran 45. Ayahnya seorang guru SMU Negeri dan ibunya seorang PNS di Pemkot Surabaya. Gaji kedua orangtuanya harus dibagi dengan ketiga adiknya. Dia anak pertama, harus memberi contoh, harus membuka jalan untuk ketiga adiknya. Sebuah harapan besar yang menekan pundaknya setiap saat. Kegagalan adalah contoh yang buruk untuk ketiga adiknya. Itu juga pendorongnya untuk terus belajar, belajar dan belajar.

 

Hari ini UNAS diadakan, dan kantung matanya menceritakan perjuangannya untuk mempersiapkan diri. Tidak ada waktu untuk bersantai, bersantailah sepuasnya ketika semua ini berakhir. UNAS, momok terbesar bagi para siswa. Lulus atau tidak ditentukan dari 3 matapelajaran itu. Mereka bilang ini pendidikan itu aspek kognitif-emosi-afeksi, atau apalah. Hana tidak tahu itu, Hana tidak peduli bagaimana harusnya pendidikan itu. Hana tidak peduli dengan dianggap sombong karena selama berbulan-bulan hanya berkutat dengan buku pelajaran. Kelulusan adalah sebuah keharusan, tidak bukan hanya kelulusan, tapi kelulusan sempurna, harus dengan nilai yang baik, yang terbaik bahkan.

 

Satu demi satu soal dia kerjakan, hari demi hari ujian dia lalui. Dan akhirnya ujian itu pun selesai. Tapi Hana belum selesai. Masih ada SPMB yang harus dilalui. Dan hari-harinya pun kembali diisi dengan belajar dan belajar.

 

Dan pengumuman hasil kelulusan pun tiba. Dan dia tidak bisa menemukan namanya di daftar kelulusan itu. Sebuah kesalahankah? Wali kelasnya tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Mungkin dia lupa menulis nama karena terlalu fokus untuk mengerjakan, mungkin memang ada kesalahan di komputer, dia tidak pernah tahu. Yang jelas dialah satu-satunya siswa yang tidak lulus di sekolah itu.

 

Guru-gurunya tampak pasrah menghadapi ini. Orangtuanya pun tidak berada di sampingnya hari-hari ini. Hana merasa tatap orangtuanya berubah. Aibkah dia bagi keluarga? Dia tidak tahu. Dia pun mulai mendengar gunjingan tetangga yang mebodohkan dirinya. Tahu apa mereka tentang dirinya? Tahu apa mereka tentang apa yang harus dia korbankan hanya untuk lulus? Kegagalan hanyalah sukses yang tertunda kata mereka. Tapi kegagalannya kali ini beda.

 

Teman-temannya mulai menjauhinya. Mereka tidak ingin berdebat lama dengan orangtuanya. "Anak bodoh kok diajak gaul, kamu nanti bisa2 jadi ikut2an bodoh" Orangtua mereka tahu apa tentang dia? Dia hanya sial, tidak bodoh. Tapi mana mau mereka mengerti.

 

Akhirnya, hari ini Hana dikuburkan. Sebotol baygon menjadi minuman terakhir yang diminumnya. Sebuah harga yang harus dibayar untuk sebuah kegagalan. Hanya karena sebuah kelulusan. Seandainya mereka lebih peka.

About dnial

You don't see anything You don't hear anything You don't know anything Move along and pretend nothing happen

Posted on 7 Juni, 2007, in flash fiction, idealist, writting. Bookmark the permalink. 21 Komentar.

  1. sebuah cerita yang sangat menyentuh …

    saya minta ijin buat di-print ya mas … πŸ™‚

  2. Boleh…
    Seperti biasa, cantumin sumber ya..
    G perlu bayar royalti ke saya kok πŸ˜€

  3. terima kasih … sumber pasti saya cantumkan … πŸ™‚

  4. Cerita menyentuh? sama sekali tidak. Ini cerita fiktif yang membunuh motivasi. Lagipula, karakter Hana menurutku agak bertentangan. kalaulah dia seorang pekerja keras yang tekun belajar, paling tidak dia juga berakal cerdas. Aneh jika Hana yang berotak memiliki pemikiran sempit untuk bunuh diri. Akhir yang terlalu dramatis Daniel. Aneh jika Hana yang ramah dan murah senyum dijauhi. Hana tentunya sudah punya teman-teman baik yang mensupport dia, bagaimana mesti bersikap ketika gagal.

    maaf, kali ini, BC buat cerpen-nya πŸ˜›

  5. @galih,
    sebuah cerita akan mempunyai kesan yg berbeda, tergantung dari sisi mana cerita itu “dilihat” … πŸ™‚

  6. @galih
    Kamu pernah gagal nggak, lih?
    Apalagi gagal ujian.
    Pernah nggak semua yang kamu bangun susah payah hancur dalam sekejap? Pernah nggak dipandangin sebagai sebuah “kegagalan” dalam masyarakat?

    Sakit hati, depresi dan perasaan tidak berharga itu begitu memakan jiwa.

    Fokus ceritanya adalah gimana UNAS itu nggak fair dalam menilai seorang siswa. Gimana seorang bisa dicap “GAGAL” atau “BODOH” hanya karena tidak lulus UNAS.

    Bagi banyak siswa SMU, kelulusan adalah segala-galanya. Harga diri, nilai diri mereka diletakkan dalam lulus tidaknya mereka.

    Untungnya persidangan menyatakan UNAS itu tidak bisa lagi digunakan sebagai penentu kelulusan.

    Tapi kalo menurut “Death of a writer” penilaian suatu tulisan diserahkan pada pembaca. Jadi comment ini bisa dianggap angin lalu kok.

    Nevertheless, Thx for penilaiannya. BC masih lulus kok. Kan aku kalo kuliah penting lulus πŸ˜€

  7. bukan hal yang mustahil terjadi, apalagi ngeliat sistem pendidikan indonesia sekarang ini. jadi inget, 2003 tu angkatan apes, mesti jadi kelinci percobaan. dulu jadi pertama kali UNAS dengan standart kelulusan (agak?) tinggi, jadi kemungkinan tidak lulus semakin melebar.
    bukan hal yang mustahil juga melihat moral bangsa indonesia yang dicekoki pemikiran hiperbolis ala sinetron.
    kalo aku si, diambil positifnya aja. yakin aja kalo yang diberikan sama yang di atas (jangan liat ke atas beneran) itu adalah yang terbaik buat kita. cobaan kan juga anugerah πŸ˜‰ yang jelas, bersyukurlah nil, udah diberi kelulusan dari SMU, tinggal sekarang berdoa aja dikasih kelulusan dari kampus ter*u*ukmu πŸ˜›

  8. @dnial: sekali-kali, jangan UNAS… tapi TA ae piye nil? πŸ˜›

  9. calonorangtenarsedunia

    mmm….

    sedikit banyak memang ngomongin aku banget..tapi bagian bagusnya aja…secara aku lulus dan ga bunuh diri…hehehe47x…

    btw, kali ini bukan pesenanku ya..jadi jgn berdalih..”ini flash story pesanan kok, bu…”
    kekagumanmu padaku tak lagi mampu kau tutupi…wakakakak47x….

    • LLLLLLEEEEEBBBBBAAAAAYYYYYY…….,,,,,,,Eh misterius ,knpa sich harus bunuh diri…gak ad arti nya lagi….apa kamu gaksayang ama klwrg lu….?????

      maaf ye……..
      he..he..he..he..

  10. @dnial:
    Pembahasan kita tolong dibatasi pada cerita. Jangan masuk wilayah pribadi. FYI, aku pernah gagal. Aku pernah mengalami saat-saat berat.

    OK, aku tahu maksud fokus ceritamu. Maksudmu baik. Berikut sedikit kritikku soal cerita ini:

    1. Dramatisasimu meremehkan arti dari sebuah kerja keras. Terlalu dramatis. Aku bukan mengatakan kerja keras itu tak mungkin gagal. Tapi gambaranmu tentang Hana yang memiliki lingkungan baik, dari keluarga PNS, ramah (catet: ramah dan murah senyum apalagi berwajah cantik). Ini terlalu dramatis. Khas sinetron Indonesia yang bermaksud memotret sisi-sisi lain kehidupan, tetapi yang ada malah pembunuhan karakter.

    2. Keluarga guru dan PNS tak mungkin tidak tahu soal pendidikan anaknya. Gambaran yang aku dapatkan dari ceritamu adalah, keluarga ini berkecukupan dan harmonis. Sehingga ending cerita bunuh diri menjadi kontradiktif bagiku.

    Mungkin akan lebih baik jika Hana adalah cewek yang biasa2 saja. Pendiam. Tidak terlalu pandai tapi rajin. Karena pendiamnya itu dia menjadi introvert dan agak kurang punya teman. Keluarganya sibuk sendiri-sendiri. Tapi karena rajin, dia menjadi the best 10 di kelas. Nah, bencana UNAS yang berakhir bunuh diri, aku melihatnya jadi masuk akal karena Hana introvert, pendiam, dan kurang punya teman baik. Agak datar memang, tapi ada titik-titik yang bisa didramatisir tanpa vulgar. Tapi Hana versimu adalah wanita yang sempurna. Eman2 kalau dalam cerita harus dibunuh oleh pengarang untuk mendapatkan dramatisasi.

    Just my 2 cents. Pendapat subjektifku saja. Meskipun demikian, cerita ini tetap menarik kok. Sangat… Daniel. πŸ™‚

  11. @galih
    Setelah dibaca lagi, iyo seh, bener juga… Cuman aku membatasi diri dengan cerpen yang kurang dari 1000 kata. Kalau kepanjangan aku masih belum sanggup. Jadi transformasinya dari cewek ceria ke cewek yang terasa depresi nggak kebahas tuntas (3 paragraf kurang ternyata). Akan diperbaiki di flash fiction selanjutnya.

    Editing memang perlu. Hehehehe… tapi wes kadung dilaunching.

    Maksutmu “sangat Daniel”? Mempromosikan mutungisme? Bukan yo… kali ini aku mempromosikan fatalisme! (tambah parah πŸ™‚ )

  12. cerita yang sangat bagus…. saya bisa belajar banyak dari cerita itu.

    @ galih :

    bunuh diri itu sangat kompleks. bukan hanya faktor keluarga, latar belakang ekonomi, lingkungan sosial, dll yang mempengaruhi. Sejauh ini faktor kepribadian yang lebih banyak berperan. Dan kita tidak tau (sepintas lalu) apa yang tersimpan dibalik diri seseorang (kepribadian) sampai apa yang tersimpan itu keluar.

    Bisa saja hanya karena faktor pemicu yang sangat sederhana, seseorang bisa memutuskan untuk bunuh diri. Hal yang bagi orang lain dianggap sepele. Depresi juga tidak selalu ditampilkan oleh individu dalam bentuk yang ekstrim. Dan bisa juga tanpa gejala apapun.

  13. ini bukan cerita hana si calontenar itu khan??? soalnya dia masih hidup tuh… *kabooorrrr*

  14. Setuju sama galih, terlalu mendramatisir tapi tetap enak dinikmati…

    @ fertobhades
    apa mungkin ada, obat atau alat (sihir, mungkin -keseringan baca HP nih) yang bisa ‘mendorong’ seseorang normal n baik2 saja untuk mengakhiri hidupnya? Kalo ada, berarti… jangan-jangan
    (conspiracy theory, nih)

  15. Ini cerita siapa ya ? Bunuh dirinya beneran apa perumpamaan sih ? *curiga, lirik-lirik calon tenar*

  16. @semua
    Ini fiksi saudara sekalian.
    Apakah tag “flash fiction” tidak cukup untuk menjelaskannya?

    @suandana
    Mungkin sebuah obat pencetus panik kayak di Film Batman Begin bisa melakukannya. (Kok malah diskusi soal bunuh diri?)

  17. @fertobhades
    Belajar apa ya?

  18. no body’s perfect so jadikan pengalaman dan penghargaan.buat aku kelulusan adalah segalanya karena ialah yang menentukan masa depan.

  19. @oty
    Kelulusan bukan segalanya.
    Kalau kamu kuliah kamu bakalan paham.

  1. Ping-balik: Aku Jadi Malu… « JalanMenujuKetenaran

Tinggalkan Balasan ke dnial Batalkan balasan