Tentang Skalabilitas Pengajar

Ini bukan postingan teknis, well, dikit. Tapi soal perenungan.

Pernah mbayangin dunia di awal abad 19 saat gramofon belum populer?

Di jaman itu, bila seseorang suka dengan Dewa 19, maka dia harus pergi ke Jakarta dan melihatnya live saat konser. Tapi bagaimana jika dia tidak punya uang untuk ke Jakarta? Dia masih bisa menikmati musik dari penyanyi dan grup band lokal.

Lalu, ditemukanlah mesin pemutar suara, gramofon lalu radio tape, cd dan mesin penyebar berita, radio dan tv. Hal ini membuat semua orang kenal dengan Dewa 19 dan bisa mendengarkan musiknya di radio atau beli kasetnya. Hal ini jelas mengancam penghidupan pemusik lokal yang tiba-tiba harus bersaing dengan Dewa 19.

Anda mengerti maksudku soal skalabilitas?

Nah, sebuah pergeseran kini mulai terjadi. Hal ini mengancam banyak dosen-dosen. Apakah itu?

Hal ini adalah inovasi yang dimulai oleh MIT: Opencourseware.

Pada dasarnya, ini adalah situs dimana kita bisa melihat bahan2 kuliah diposting online. Bayangkan efek yang dimiliki oleh perubahan ini ke dosen-dosen di Indonesia.

  1. Kita punya akses ke kuliah dosen-dosen di luar negeri. Hal ini membuat para dosen di dalam negeri punya benchmark untuk meningkatkan kualitas pengajarannya.
  2. Level playing field. Sudah tidak ada lagi alasan bahwa mahasiswa tidak pintar karena dosennya juga tidak pinter, sekarang kita punya akses ke materi dan kuliah dari sekolah-sekolah berkualitas di luar negeri. Kecuali kampusnya belum ada akses internet kencang.
  3. Dosen-dosen berkualitas di Indonesia jika mau membuka kuliahnya secara bebas bisa melakukannya dengan mudah, baik materi pengajaran, tugas-tugas sampai aksinya di ruang kuliah. Hal ini membuat penyebaran ilmu pengetahuan jadi makin cepat dan merata di Indonesia.
  4. Dosen-dosen mau tidak mau kudu meningkatkan kualitasnya saat mengajar jika tidak ingin ditinggalkan.

Semua hal ini membuat dosen-dosen bagus semakin scalable. Tidak hanya melayani 20-100 orang di kelas mereka tapi ribuan bahkan jutaan para pencari ilmu di luar sana. Hal ini juga pasti akan menggeser peran dosen-dosen yang kualitas pengajarannya kurang. Bisa jadi kelas dimulai dengan video pengajaran dosen yang bagus, lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan dosen yang ada di kelas. Bahkan email, teknologi virtual class dan video conference pun bisa meningkatkan kualitas sesi tanya-jawab dan diskusi.

Perubahan pasti terjadi. Kuliah model lama akan berganti bentuk. Sebentar lagi kita tidak perlu masuk ke MIT atau Oxford atau Harvard untuk mendapatkan ilmu, cukup dari rumah, laptop dan koneksi Internet. Just my 2 cents.

Terinspirasi dari buku ini.

About dnial

You don't see anything You don't hear anything You don't know anything Move along and pretend nothing happen

Posted on 11 Januari, 2012, in career, idealist, IT, life and tagged , , . Bookmark the permalink. 9 Komentar.

  1. For hundreds of millions of years, Sex was the most efficient method for propagating information of dubious provenance: the origins of all those snippets of junk DNA are lost in the sands of reproductive history. Move aside, Sex: the world-wide Web has usurped your role.

    Seth Lloyd, “Move Aside, Sex”, in The Edge Annual Question—2010: How Is the Internet Changing the Way You Think?[4], January 2010

  2. Re: situasi dengan dosen, IMHO sedikit-banyak masih akan kepentok di perkara teknis. Bahkan dengan asumsi semua orang punya broadband, volume tanya-jawab interaktif pasti terbatas. Sebab ya… waktu dan tenaga dosen terbatas. 😛 Gak mungkin 1000 orang nonton kuliah & lantas diskusi.

    Tetapi, by and large, kalau untuk “mencari ilmu” jelas sangat efektif. Boleh jadi ke depannya dosen IRL jadi lebih berperan buat pengarah; bukan pengajar utama seperti di kampus2 kita sejauh ini.

    Persoalannya tinggal seberapa banyak dari materi edukasi itu dibikin open — kembali pada dosen/institusi penyelenggara. Kalau lecture notes sih banyak, tapi yang susah itu biasanya menyangkut textbook dan paper. 😕

    (IMHO & CMIIW)

  3. Hal ini jelas mengancam penghidupan pemusik lokal yang tiba-tiba harus bersaing dengan Dewa 19.

    Sebentar lagi kita tidak perlu masuk ke MIT atau Oxford atau Harvard untuk mendapatkan ilmu, cukup dari rumah, laptop dan koneksi Internet. Just my 2 cents.

    Masbro…sampeyan apa ndak melupakan unsur “rasa”? Mendengarkan band cover dan mendengarkan rekaman band asli itu berbeda rasanya. Bukan berarti bahwa satu lebih baik dari lainnya, tapi ya…rasanya itu aja beda. Begitu juga menghadiri kuliah dosen langsung, online, rekaman, ataupun berbagai macam bentuk kuliah lain itu juga berbeda rasanya. Misalnya, kekurangan OCW tentunya adalah bahwa tidak ada interaksi antara mahasiswa dan dosen setelah kuliah. Seringkali kan yang menarik di sini, karena (misalnya) kita jadi bisa lebih akrab sama dosennya dan membangun network. 😀

    Dadi wong Jawa aja lali marang prinsip iki 😉
    Mengko didukani Ki STMJ

  4. Dadi wong Jawa aja lali marang prinsip iki 😉

    ^ Iki. 😆

    (baca: “This.”)

  5. *spontan nyari opsi like*

  6. @sora9n
    Paper semakin banyak yang Open Dan bisa dibajak
    Akses ke jurnal internasional memang salah satu hal yang kudu diperhatikan dari kampus. Tapi, waktu kuliah S1 dulu itu lebih berguna saat ngerjakan skripsi, untuk tugas kuliah nggak perlu akses ke paper banyak2. Kalau S2 dan S3 beda lah…

    @lambrtz
    Memang beda. Tapi ada konsep yang ditawarkan oleh Standford University. Free Online Course termasuk online grading dan tanya jawab dengan dosen.

    http://news.stanford.edu/news/2011/august/online-computer-science-081611.html

    Dan networking itu kan efek turunan, bukan efek langsung dari pengajaran di kelas.

  7. Wahh,,,Terima kasih untuk informasinya 🙂

    Keep Blogging

    http://www.disave.blogspot.com

    Salam Persahabatan.

  8. Sebentar lagi kita tidak perlu masuk ke MIT atau Oxford atau Harvard untuk mendapatkan ilmu, cukup dari rumah, laptop dan koneksi Internet.

    Untuk mendapatkan ilmu. Mendapatkan kredibilitas dalam bentuk selembar kertas-kacang-goreng bernama ijazah atau sertifikat? :mrgreen:

  1. Ping-balik: An update and some more « Zero Reality

Tinggalkan komentar